Suaraburuh.com - Pada Zaman Pemerintahan Hindia Belanda, Pulau Sumbawa, Flores, Sumba, Timor dan Kepulauannya merupakan satu kesatuan wilayah administratif, yang waktu itu disebut Keresidenan Timor.
Konstelasi Pemerintahan yang dianut Pemerintah Hindia Belanda sesuai dengan landasan politik yang bertujuan untuk menjamin kepentingan penjajah ialah tetap mengakui kedaulatan Swapraja dibawah pimpinan Raja-raja, yang seluruhnya berjumlah 48 Swapraja.
Hal tersebut diatur dalam perjanjian politik yang dikenal dengan Korte Verklaring. Dengan demikian hubungan antara raja-raja dengan Pemerintahan Hindia Belanda seolah-olah berada dalam kedudukan yang sama. Namun dalam kenyataannya, politik ini jelas hanya menguntungkan Pemerintah Kolonial.
Baca Juga: KM Ratu Rosari, Kapal yang Melegenda Dengan Nuansa Katolik NTT
Pemerintahan di Keresidenan Timor pada Zaman Hindia Belanda dipegang oleh seorang Pangreh Praja Belanda yang bergelar Residen dan dibantu oleh Asisten Residen.
Dalam perkembangan selanjutnya keresidenan Timor dibagi dalam Afdeling-Afdeling Sumbawa, Flores, Sumba, Timor dan masing-masing Afdeling dikepalai oleh seorang Asisten Residen.
Di bawah Afdeling terdapat Onder Afdeling yang meliputi beberapa Swapraja yang dikepalai oleh seorang Controuler dengan dibantu oleh beberapa Bestuur Asisten Bangsa Indonesia.
Konstelasi tersebut berlaku terus sampai dengan masa Pemerintahan Bala Tentara Jepang. Masa Pemerintahan pendudukan Jepang tidak berlangsung lama, kurang lebih 3 tahun, Kepulauan Indonesia Bagian Timur dipegang oleh Angkatan Laut Jepang (KAIGUN) yang berpusat di Makasar, yang menjalankan roda Pemerintahan Sipil ialah seorang yang bergelar Minsaifu, bekas Afdeling diubah menjadi Ken, Ken dibagi dalam Bunken adalah Swapraja.