Oleh: Joanes Pieter P. A. Calas
Staf Pengajar Sosiologi & Environmental Activist
Mungkin sebagian besar diantara kita masih banyak yang belum menyadari jika kondisi lingkungan saat ini, yang kian hari semakin terbentang luas jaraknya dengan kita. Bisa jadi, sebagian diantara kita yang belum menyadari itu, ada yang berpura-pura menutup mata dan telinga atas jeritan lingkungan. Begitu sedikitnya diantara miliaran manusia yang bernaung di bawah kolong langit ini sudah hidup di wilayah ecology awarnes.
Di beberapa kesempatan, saya sering mengakses beberapa literatur tentang hal ini. Di sana saya temukan bahwa, beberapa negara-negara adidaya sedang berlomba lomba mencari planet yang ada kehidupan layaknya bumi. Sampai pada sebuah asumsi, saya melihatnya bukan pada persaingan teknologi. Itu urusan lain.
Saya lebih melihatnya pada wilayah etika. Karena, bagi saya, seperti pekerjaan yang lari dari tanggung jawab. Tapi, disisi lain inisiatif seperti itu bisa diterima, karena bisa mengurangi beban ekologis. Sebab negara mana yang berhasil menemukan planet yang mirip dengan bumi, ada kemungkinan penduduknya bermigrasi ke sana.
Berbeda dengan negara-negara dunia ketiga, seperti Indonesia. Kita masih masuk pada fase berkembang. Fase di mana pemujaan terhadap pasar dan kapitalisme sulit untuk diminimalisir. Alasannya cukup jelas, kita masih bersandar pada logika kesejahteraan ekonomi.
Sehingga, untuk mencapai semuanya itu, lingkungan seringkali dijadikan sebagai objek eksploitasi, yang menimbulkan perusakan. Akibatnya, Relasi ekologis antara manusia dan lingkungan seperti lapisan tipis yang susah untuk berdamai secara total.
Manusia dan Alam dalam Lingkaran Law of Attraction
Salah satu penyumbang terbesar munculnya watak antroposentis ialah, ilmu pengetahuan dan teknologi. Semakin berhasil manusia menaklukkan alam maka, semakin besar pengakuan terhadap keberhasilan ilmu pengetahuan.
Eksploitasi dikatakan berhasil jika caterpillar berhasil menggeruk sedalam-dalamnya dan mengambil sebanyak-banyaknya mineral yang ada dalam perut bumi. Setelah itu meninggalkan jejak dengan lubang-lubang besar yang menganga.
Selain itu, sistem pertanian yang monokultur,jelas memberikan dampak yang besar terhadap kerusakan lingkungan, penggunaan pupuk kimia, dan lenyapnya beberapa benih-benih lokal. Tentu ini dilakukan sebagai respon terhadap pasar.
Semakin luas lahan yang digarap, maka semakin dekat dengan kesejahteraan. Akibatnya, beberapa spesies yang mestinya punya hak untuk hidup, terpaksa harus lenyap karena obat-obat kimiawi, jelas dampak lanjutannya. Generasi kita kedepannya semakin sedikit mengenal spesies yang ada di muka bumi.
Alam sebetulnya punya hukum tersendiri untuk mengatur ritme kehidupannya. Intervensi manusia terhadap alam sudah melampaui ambang batas. Alam dan manusia baik dari komponen biotik maupun abiotik adalah suatu komunitas moral, yang relasinya perlu dijaga, tanpa ada yang saling mendominasi.